oleh Kang Arul pada 22 Oktober 2011 jam 12:15
Pagi ini sebuah status FB yang saya baca berisi
tentang curhatan sipemilik tentang betapa kesalnya dia dengan lakon seorang
pengelola penerbitan indi yang sampai dua bulan lebih tidak mengirimkan buku
yang sudah di pesannya; dan tentu saja dia sudah membayar sejumlah uang ke
rekening yang bersangkutan. Di FB lain saya baca bagaimana dia sudah
mentransfer uang ratusan ribu rupiah untuk biaya layout dan desai kaver, namun
sampai sekarang bukunya tidak terbit juga. Di FB lainnya lagi saya lihat sebuah
status yang curhat kalau layout halaman bukunya berantakan, masak di halaman
satu fontnya X dan di halaman lain ada dua fontnya Z, padahal ia sudah membayar
setengah juta untuk biaya itu semuanya.
Aih, apakah yang terjadi di dunia penulisan cum
penerbitan saat ini?
Semua bermuara dari kemajuan teknologi pencetakan.
Sebuah buku saat ini tidak lagi harus melalui cara, prosedur, dan kuantitas
konvensional. Dulu, dengan hitung-hitungan bisnis, sebuah buku harus dicetak
minimal 2000 atau 3000 oleh sebuah penerbit mayor. Jumlah itu akan
didistribusikan ke toko buku dan jumlah itu juga memuat berapa hitung-hitungan
angka yang harus dibagi ke berbagai pihak, seperti biata operasional, penulis,
distributor, toko buku, sampai bayar rekening listrik kantor.
Namun, saat ini, dengan kemajuan mesin cetak sesuai
permintaan atau istilahnya Print On Demand (POD), menyebabkan jumlah buku yang
dicetak bukan menjadi persoalan. Mudahnya menggunakan tenaga lepas seperti
desainer dan layouter serta gratisnya pengurusan ISBN menyebabkan semua urusan
yang berbelit dan memakan waktu lama seperti dalam penerbitan mayor menjadi
seperti menjentikkan jempol-telunjuk: klik, buku pun bisa terbit saat itu juga.
Sistem POD juga menyebabkan kemudahan penulis untuk
menerbitkan karyanya. Bahkan jika yang ditulisnya tidak bermutu pun bukan jadi
persoalan, asal punya duit kita bisa bikin buku sendiri. Ini berbeda dengan
'tradisi' penulis yang menawarkan naskah di penerbitkan mayor. Bahwa semua
naskah harus mengalami seleksi yang super ketat, tidak hanya dari sisi konten
semata melainkan juga dari aspek bisnis. Biarpun kontennya jelek, asal itungan
bisnis bagus, maka naskah itu akan dijadikan buku dan dijual oleh penerbit
mayor. Ini berbeda dengan POD, jika mengambil simpulan seramnya; biar kontennye
buruk dan nilai bisnisnya buruk, buku tetap bisa terbit.
Kondisi ini menjadi semacam angin surga bagi para
(calon) penulis atau mereka yang sudah putus asa karena naskahnya sering
ditolak penerbit-penerbit mayor. Nah, dengan POD ia bisa tiba-tiba menjadi
penulis; menjadi seseorang yang memiliki buku dan dengan bangganya memasang
kaver di FB hanya untuk menegaskan bahwa bukunya sudah terbit dan mendapat
endors dari pengunjung FB bahwa mereka pun turut senang dengan pencapaian
tersebut. Sampai pada akhirnya yang komen di FB pun mengikuti jejak si (calon)
penulis tersebut; mulai membongkar file lama di komputer, disusun menjadi
sebuah naskah, dan diproses menjadi buku dengan sistem POD atau jika memiliki
modal banyak dicetak dengan jumlah ratusan bahkan ribuan. Intinya dia menulis,
dia mengeluarkan duit, dan dia yang berpromosi. All in one.
Peluang inilah yang dilihat oleh si insting bisnis.
Banyaknya (calon) penulis yang benar-benar ingin bukunya diterbitkan dan
melihat namanya terpampang di kaver buku menjadi semacam peluang bisnis yang
luar biasa. Mulailah berdiri satu-dua "penerbitan" yang bisa
menyediakan cara mudah bagi (calon) penulis untuk menerbitkan bukunya secara
POD atau istilahnya indi, penerbit minor. Mereka menyediakan jasa layout,
desain, edit, dan promosi. Sebaliknya penulis hanya menyediakan naskah saja..
ups, dengan duit secukupnya.
Tapi, apa daya.... para penerbit minor dadakan ini
lupa bahwa proses sebuah buku itu tidak hanya asal POD saja di mesin cetak,
atau malah mesin fotokopian. Sebuah buku harus mengalami proses sunting yang
baik, tataletak yang enak di pandang, kaver yang sesuai, dan tentu saja sebuah
naskah yang memuat konten baik, baik di sisi isi dan baik di sisi penjualan.
Persoalan kedua, bagi penerbit minor yang punya
mesin POD atau sudah bekerjasama dengan percetakan yang memiliki mesin POD,
soal menyetak berapapun eks buku bukan menjadi persoalan. Nah, bagi mereka yang
tidak punya rekanan mau tidak mau harus bekerjasama dengan percetakan biasa
yang punya batas minimal pemesanan buku. Hal ini terkait dengan jumlah tinta,
lama bekerja mesin, kertas yang dibeli, dan sdm yang dipakai. Maka akhirnya si
penerbit minor inipun mengambil langkah ajaib: meminta penulis mengeluarkan
biaya sendiri untuk mencetak bukunya. Modusnya bisa macam-macam, salah satunya
dengan membuat lomba untuk menjaring puluhan dan bahkan ratusan orang (calon)
penulis. Jika ada 100 orang yang ikut dan masing-masing "menyumbang"
Rp50.000 maka tertutupilah biaya produksi satu buah buku. Itupun kalo urusannya
bener, kalo nggak.. ya lagi-lagi si penerbit minor ini angkat tangan dan buku
pun tak kunjung nongol.
Lalu, apakah salah dengan angin surga POD itu?
Seseorang teman di FB sempat menulis bahwa ia tidak
ada masalah berada di "kasta terendah" karena menerbitkan buku secara
POD atau indi. Terlepas dari ada tidanya kasta dalam cara menerbitkan, yang
pasti sistem POD atau indi tetap punya nilai positifnya.
POD ataupun indi memberikan jalan alternatif bagi
siapa saja untuk menerbitkan buku. Ingat, jumlah penerbit yang terbatas
sementara mungkin ada jutaan dan puluhan juta orang yang ingin menulis,
menerbitkan buku, dan membagikan hasil pikirannya itu tidak mungkin bisa
menampung naskah-naskah dari mereka. Bagi mereka yang sudah pengalaman
menerbitkan buku pasti menyarankan untuk pilih penerbit mayor, tapi bagi mereka
yang nggak tahu apa-apa pilihan POD dan indi menjadi lebih tepat. Karena persoalan
tema atau konten berbeda menurut "siapa". Bagi penerbit ada unsur
bisnis dalam sebuah konten sementara bagi penulis ada unsur "ini penting
dan layak dibaca".Bagi penerbit males rasanya menerbitkan buku
"Memelihara Jangkrik" karena siapa yang mau beli dan jangan berharap
akan ada cap best seller jika buku ini terbit. Namun, bagi penulis buku ini ada
pangsa pasarnya, yakni mereka yang hobi dengan ikan, jangkrik bisa jadi makanan
ikan. Nah, karena unsur yang tidak nyambung ini, tak berlebihan kalau penulis
memilih jalur POD atau indi. Begitu juga dengan nilai pasar naskah-naskah puisi
yang ditulis oleh orang yang tidak dikenal tapi mau berkarya.
Persoalan mengeluarkan uang? Ini adalah salah satu
risiko. Sebuah penerbitkan indi atau POD selalu ada uang yang dikeluarkan.
Minimal uang untuk mendesai kaver, atau melayout isi, atau untuk mencetak buku.
Kalau pun ada penerbitan indi yang tidak menarik uang tetap saja ia akan
menagih harga buku jika penulisnya beli ke mereka, tidak seperti penerbit mayor
yang memberikan 5 atau 10 buku sebagai contoh cetak-terbit. Artinya ada
kesepakatan dalam melakukan 'bisnis' buku. Penulis menyediakan naskah dan uang,
penerbit indi menyediakan jasa buku sampai terbit atau istilah kerennya
pubslihing services. Rasanya tidak penerbitan indi, POD, dan atau publishing
services benar-benar gratis dalam memberikan layanannya. Jika menilik teori
komodifikasi Vincent Moscow atau Adorno, jika greatispun sebenarnya penulis
sedang dikomodifikasi oleh sang penerbit sedang dibuat seolah-olah penulis
tidak keluar sepeserpun padahal penerbit menarik keuntungan non-materi dari
sipenulis, ya sekecil-kecilnya keuntungan adalah brandcommunication dari si
penulis yang memberitakan bahwa "layanan penerbit ini oke" dan 'beli
dong buku saya di sini".
Kondisi ini yang menyebabkan beberapa penerbitkan
mayor besar menyediakan layanan ini. Meski pada awalnya beberapa penerbit
tersebut menyediakan jasa POD hanya untuk melihat kualitas dummy dari sebuah
buku, tapi apa yang dilakukan oleh Gramedia di Jakarta atau Kanisius di
Yogyakarta merupakan dua contoh perusahaan penerbitan besar yang melayani
sistem POD atau cetak sesuai jumlah pesanan, yang biasnaya terbatas. Konon
kabarnya Penerbit Mizan mulai terjun ke usaha POD atau publsihing services ini. Atau saat ini
saya lihat beberapa tempat fotokopi di Jakarta, Depok, Bandung, Surabaya,
Malang, atau Yogyakarta juga menyediakan jasa pubslihing services yang bisa
mewujudkan impian (calon) penulis menerbitkan buku.
Jika ditilik kembali dari latar historis, kebiasaan
POD ini memang dilakukan oleh penerbit mayor terlebih dahulu. Juga, bagi
lembaga/institusi periklanan yang biasanya mengerjakan laporan tahunan
perusahaan atau buku profil perusahaan. Dan toh, kalau mau jujur, banyak juga
penerbit besar yang merelakan logo penerbitnya dipakai demi menyetak buku
pesanan dari calon gubernur atau kepala daerah menjelang pilkada. Sama saja
kan. Lagi-lagi ini adalah publsihing services dan semua sah-sah saja asal kedua
belah pihak sama-sama puas.
Biarkan menjadi angin surga
Di tengah munculnya kasus 'penipuan' atau 'layanan
sembarangan' atau 'penulis harus keluar uang' yang kelihatannya mulai muncul,
ada baiknya untuk tidak menjatuhkan penilaian bahwa penerbit mayor lebih baik
dari penerbit minor yang menggunakan sistem POD atau INDI. Banyak contoh
bagaimana sebuah buku yang diterbitkan secara POD sangat sukses, sebagai misal
buku cara membetulkan konsol gim meski dijual dengan bentuk buku elektronik
telah menghasilkan puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah, atau bagaimana buku
Harry Potter edisi pertama juga hanya dicetak 500 buah, karena belasan tolakan
dari penerbit mayor, dan disebarkan di perpustakaan sekolah, atau bagaimana
salah seorang anggota FLP setelah keluar dari posisi di penerbitan mayor
membuat penerbitan sendiri, mengelola sendiri, menyetak dengan duit sendiri,
mendistribusikan sendiri, dan akhirnya bisa mengeruk keuntungan... sendiri. Di
lain lokasi ada novelis yang mengeluarkan uang sampai puluhan juta rupiah dan
memakai jasa publishing services dengan penerbit indi dia juga puas kok dengan
hasilnya; meski uang itu tidak kembali semuanya, tetapi dengan penjualan buku
dan apa yang didapat dari sekadar uang (teman baru, relasi baru, karya terbit)
sudah cukup untuk membayar jumlah nominal yang digelontorkan.
Yang harus dipastikan adalah sebuah konten yang kita
tulis untuk diterbitkan dalm bentuk POD atau indi haruslah konten yang baik.
Untuk membahas konten yang baik ini adadi ruang dan waktu khusus ya.. dengan
konten yang baik akhirnya buku yang dicetak terbatas pun akan tetap menjadi
bahan bacaan yang bagus dibaca dan berarti untuk orang lain. Meski yang
membelinya hanya 5 orang, toh 5 orang itu sudah bisa mengambil manfaatnya. Tapi
kalau ditulis, diterbitkan, dan hanya dibaca oelh si penulisnya sendiri itu sih
namanya....
Tetapi jangan pula lengah dengan jasa publishing
services yang marak menawarkan diri dengan label "penerbit" ini.
Perhatikan 1) bagaimana kualitas pengelolaan mereka dengan melihat rekam jejak
si pengelola dengan seksama. Diharapkan dengan si pengelola punya pengalaman
dalam dunia penerbitan atau percetakan akan mampu memberikan layanan yang
sesuai dengan apa yang diharapkan. 2) Untuk itu perlulah banyak-banyak bertanya
kepada siapa saja yang sudah pernah memakai jasa publishing services tersebut.
Jangan karena semangat tinggi karena mau nerbitin naskah dan akan punya buku
perdana membuat mata kita buta untuk langsung order ke penyedia jasa tersebut.
3) Kalaupun kita mengeluarkan uang, perhatikan apakah uang itu layak atau tidak
dan atau akan digunakan sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Pastikan dengan
sangat teliti berapa jumlah uang untuk keperluan X, berapa yang untuk keperluan
Y, dan berapa yang untuk keperluan Z. Syukur-syukur kalau ada perjanjian hitam
di atas putih. Tapi, kalau uang sudah keluar, kita tidak teliti, dan hasilnya
membuat kecewa ya jangan marah-marah belakangan... toh, siapa suruh setuju
langsung bayar. 4) Di sinilah perlunya membaca, memahami, atau bertanya soal
apa yang dibayar dan apa yang didapat. Tak ada salahnya kita teliti dahulu
seseksama mungkin sebelum kecewa di kemudian hari.
Toh, intinya kalau kita ikutan penerbit mayor atau
minor, indi atau ternama, POD atau batas psikologis, itu sama saja tak ada
bedanya. Jangan dikira penerbit mayor tak pernah bikin jurus tipu-tipu. Jangan
menyangka naskah kita tidak akan diobrak-abrik penerbit ternama. Jangan dikiran
buku kita akan ditangani secara tepat meski sudah dicetak dengan batas
psikologis.
Juga, jangan mengira memasuki bisnis penerbitan indi
itu mudah. Jangan dikira POD itu memudahkan segalanya. Jangan dikira
mendistribusikan buku itu mudah. Jangan dikira semua bisa dilakukan, misalnya
menerbitkan buku, hanya karena kita punya .... uang!
So, jika ingin angin surga, maka telitilah dengan
seksama. Sebab, penerbit mayor atau minor sama-sama bisa meniupkan angin surga
dan juga suatu saat bisa memberika hawa neraka.
Saya, secara pribadi, sangat percaya dan yakin
kutipan seorang penulis ternama yang akhirnya memulai bisnis secara penerbitan
minor (meski sekarang lebih tepatnya bermetamorfosis menjadi penerbitan mayor)
bahwa "yang penting mau memulainya...". Toh, banyak jalan ke Roma,
dan tidak semuanya harus memiliki pengalaman pertama di penerbitan mayor,
bukan?
Sumber : Notes Kang Arul di Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar